Selasa, 10 Januari 2017

Makhluk Rentan

Beberapa hari lalu ketika sore tiba saya terlibat diskusi serius dengan orang tua saya, ditemani makanan awug buatan ibu dan lemon tea yang buahnya hasil memetik di halaman belakang rumah. Bukan, ini bukan bahasan tentang pernikahan. Lebih dari itu, ini menyangkut kehidupan manusia dan eksistensinya. Halaaahhh 😆...

Jadi begini, memasuki masa pensiun ditambah merasa penat dengan hiruk pikuk kota besar, tahun 94 orang tua saya memutuskan pindah rumah ke kota kecil di Jawa Barat, yaitu Garut. Waktu itu saya masih kecil. Kepindahan tersebut tentunya membuat saya juga semua kakak saya tidak bisa menerima. Kami yang terbiasa hidup enak di kota Bandung dengan berbagai fasilitas yang serbamudah mau tidak mau harus ikut pindah ke sebuah desa di kota Garut, di mana untuk sekadar membeli semangkok bakso saja harus menempuh jarak ratusan meter. Meskipun orang tua tetap menyekolahkan kami ke kota dan bersekolah di sekolah terbaik yang ada di Garut, tetap saja rasanya tidak adil. Pikir saya waktu itu.

Namun, seiring berjalannya waktu saya mulai menerima dan menikmati kehidupan di pedesaan. Bermain bersama anak-anak seusia. Mencari belut di sawah, sampai mengejar layangan putus ke tanah lapang. Masa kecil saya dihabiskan dengan bermain bukan menonton TV. Orang tua pun membatasi (lebih cenderung melarang) saya menonton TV. Kebiasaan ini terbawa hingga sekarang. Lalu apakah saat itu kakak-kakak saya juga mulai menikmati kehidupan di pedesaan? Entahlah karena tidak lama dari momen kepindahan itu, mereka justru kembali ke Bandung untuk kuliah. Mereka jarang pulang dengan alasan banyak tugas lah, cape lah, jauh di jalannya, dan lain sebagainya.

Hari demi hari, tahun demi tahun saya lalui dengan penuh keceriaan khas anak-anak, hingga tiba waktunya saya memasuki masa kuliah. Saya diterima di universitas negeri di kota Depok. Jauh dari orang tua mengharuskan saya hidup mandiri, dan untuk beberapa saat saya mengalami culture shock. Saya yang terbiasa makan masakan ibu, dipaksa harus bisa masak sendiri, atau paling ga saya beli makan, dan itu artinya saya harus makan makanan bukan buatan ibu. Itu hal yang beraaaattt broo... Dari kecil sampai SMA, saya ini makhluk higienis 😄, tidak mengonsumsi gorengan, MSG, hanya makan makanan organik. Akibatnya saya sering sakit karena pola makan yang berantakan. Karena pertimbangan kesehatan, saya pun pindah kuliah ke Bandung. Minimal di Bandung ada kakak-kakak yang menemani.

Berbeda dengan kakak, semasa kuliah saya justru sering pulang ke Garut. Saya rindu ayah, rindu ibu, rindu suasana pedesaan ketika malam hari, sunyi, syahdu. Rindu ketika panen tiba, rindu makanan buatan ibu. Seperti waktu kemarin-kemarin itu, kami (ayah, ibu, dan saya) menikmati hidangan yang dibuat ibu sambil berdiskusi tentang hidup. Ada hal-hal terbaik yang saya dapatkan dari ayah tentang kehidupan manusia dan tentang betapa mutakhirnya cara hidup orang-orang tertentu. Ayah bilang kita sedang hidup di tengah masyarakat yang semakin konsumtif. Kita seakan dipaksa untuk membutuhkan sesuatu padahal tidak. Kita seakan dipaksa untuk tidak pernah cukup pada apa-apa yang kita miliki.

Kata ayah hidup manusia itu rentan. Apalagi bagi saya dan kakak yang hidup di perkotaan, di mana segala hal yang dibutuhkan didatangkan dari desa/luar kota. Sayuran, beras, air, listrik, pakaian, dan segala yang mengisi rumah hampir tidak pernah berasal dari sekitar rumah kita sendiri. Akan menjadi sebuah persoalan yang amat serius dan bsa jadi keluhan berjamaah ketika rumah mengalami mati listrik, Air PDAM mati, beras dan gas elpiji langka/naik harganya, juga harga cabai yang akhir-akhir ini jadi topik hangat karena saking mahalnya. 
Pernyataan ayah mengusik pikiran saya. Mungkin dulu dan mungkin sampai saat ini saya merasa segalanya ada di kota. Terasa semuanya tersedia. Padahal semuanya itu datang dari tempat jauh, tempat yang dulu tidak mau saya tempati sampai mogok bicara berhari-hari. Ya, tempat itu adalah pedesaan. Tempat ayah dan ibu menghabiskan  sisa usianya kini.
Saya melihat masyarakat desa adalah masyarakat yang paling kuat dari banyak segi kehidupan. Mereka mampu menghidupkan dapur mereka dari apa yang ada di sekitar rumahnya. Kelangkaan gas elpiji, tidak masalah. Tidak ada listrik, tidak terlalu panik. Bahkan cabai yang lagi jadi topik hits karena harganya yang melambung tinggi tumbuh di halaman rumah. Beras dihasilkan dari sawah sendiri. Dari segi ketahanan fisik pun mereka menjadi lebih sehat. Saat ini ayah berusia 84 tahun dan ibu saya 72 tahun. Dari diskusi itulah, lahir keinginan saya untuk tinggal di desa suatu hari nanti, mengurus suami dan anak. *ekkhh
Diakhir diskusi saya iseng bertanya pada ayah "terus buat mengatasi kenaikan biaya pembuatan STNK dan BPKB gimana? Kalau cabai mahal kan bisa nanam sendiri." Tanpa diduga jawaban ayah bikin saya dan ibu ketawa "ya kamu nge-print sendiri lah." 😂😂



Tidak ada komentar:

Posting Komentar